Dalam hidup, kita dihadapkan pada banyak pilihan. Kewajiban kita sebagai manusia adalah memilih satu dari sekian banyak pilihan yang dihadapkan pada kita. Memilih belajar Ilmu Komputer atau Sistem Informasi di Fasilkom UI merupakan satu tahap memilih yang kita hadapi dalam hidup. Konsiderasi di belakang dan konsekuensi yang menanti tentu sebuah keniscayaan.
Setelah lulus nanti, sebagian dari kita mungkin akan memilih menjadi programmer tersohor. Sebagian lagi mungkin lebih tertarik menjadi konsultan IT di sebuah perusahaan multinasional. Pilihan tersebut bisa jadi ialah pilihan standar lulusan Fasilkom. Tak ada yang salah dengan cita-cita dan pilihan tersebut. Sebab memang, kita dibebaskan mengambil pilihan. Namun, di luar ‘kebiasaan’ tersebut, seorang alumni Fasilkom angkatan 2005, Agung Firmansyah, dengan mantap menjadi seorang pengajar di sebuah Sekolah Dasar Inpres di daerah Tatibajo, Majene, Sulawesi Barat.
Pria kelahiran Surabaya, 12 Maret 1987 ini, sebelum memutuskan menjadi pengajar SD, berpengalaman kerja sebagai konsultan IT di PT Astra Graphia dari tahun 2009 hingga 2010. Agung akhirnya melepas pekerjaannya di perusahaan tersebut dan bergabung menjadi pengajar pada program “Indonesia Mengajar”. Program ini melakukan perekrutan tenaga pengajar baru untuk ditempatkan di daerah. Mereka yang direkrut adalah mahasiswa maupun alumni perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Agung mengaku, banyak pengalaman dan cerita yang dipetik selama mengajar. Tatibajo tergolong daerah pedalaman di Majene, Sulawesi Barat. Sehingga tak heran banyak keterbatasan yang dihadapi masyarakat di sana, termasuk dalam hal pendidikan. Siswa-siswi SD Negeri 27 Tatibajo—sekolah di mana Agung mengajar—mayoritas masih belum dapat berbahasa Indonesia dengan fasih. Melihat hal ini Agung tak lantas patah arang dan bergegas pergi. Sebaliknya, Agung malah dengan telaten mengajar mereka Bahasa Indonesia sambil terus menyemangati anak didiknya.
Agung mengajarkan anak-anak didiknya untuk memiliki impian. Bagi Agung, impian merupakan target sekaligus alasan yang kuat bagi murid-muridnya untuk tetap belajar dan belajar lagi. “Impian membentuk mereka (murid-muridnya) menemukan alasan mengapa mereka harus belajar,” tutur Agung yang juga akrab dipanggil Kuncen. Dengan begitu, suasana kelas menjadi hidup dan murid-murid Agung tetap terus termotivasi belajar guna mengejar impian mereka masing-masing.
Berbeda dengan metoda belajar-mengajar klasik yang masih lazim diterapkan pada sekolah dasar di Indonesia pada umumnya, Agung mengaplikasikan metodenya sendiri dalam mengajar. “Jika di sekolah lainnya, anak diberikan ikan, saya memilih memberi mereka umpan,” ujar Agung seperti dikutip di blognya. Metode konstruktif yang diterapkan Agung di kelas menantang anak-anak untuk terus terpacu menggali ilmu pengetahuan lebih dalam lagi secara mandiri.
Kisah, cerita, maupun pengalaman Agung selama menjadi pengajar tak hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, Agung Firmansyah berupaya agar secara rutin bisa menuliskan ceritanya di blog. Sinyal yang sulit tak menjadi penghalang bagi Agung. Baginya, “No Listrik, No Cry, No Sinyal, Santai!”
Agung telah menentukan pilihannya menjadi pengajar untuk anak-anak kurang beruntung di pelosok Indonesia. Agung bertekad kuat mengabdi bagi masyarakat Indonesia untuk mencapai visi Indonesia yang lebih baik.
Bagi para mahasiswa, kisah Agung Firmansyah, dapat menjadi inspirasi. Inspirasi untuk menjatuhkan pilihan di masa mendatang. Inspirasi untuk terus berbagi. Agung melalui pesan singkatnya kepada redaksi BitMagz menyatakan, “I love sharing….”.